"BROKEN BUT STILL STANDING"

“Broken but Still Standing: Pikiran Jiwa yang Terlalu Ramai dan Perasaan Hati yang Tenang karena Hidup Tanpa Rasa”

Penulis : Rizzal Hanafi Nazar
“aku mungkin tidak tahu ke mana arahku nanti, tapi satu yang pasti, aku tak akan berhenti di sini. i'm fine. at least, that's what i keep saying to the world and to god.”

KATA PENGANTAR

Dengan penuh rasa syukur dan hati yang kosong, penulis menyusun artikel jurnal ilmiah ini sebagai refleksi atas fenomena emosional yang semakin banyak dialami oleh individu (termasuk penulis) dalam kehidupan modern. Tulisan ini bukan hanya sekedar rangkaian kata ilmiah, melainkan potongan dari realitas yang tak selalu tampak, kisah tentang manusia yang terus melangkah tanpa benar-benar tahu ke mana arahnya, yang tetap bertahan meski tak lagi merasa. Dalam sudut psikologi, kita sering membahas trauma, kelelahan emosional, dan eksistensi diri. Tetapi jarang bertanya: Bagaimana jika seseorang tetap hidup tanpa rasa? Apakah itu bentuk kebebasan atau justru kehilangan yang paling dalam?
Hidup adalah perjalanan yang penuh dengan pasang surut. Ada kalanya kita tertawa dalam kebahagiaan, namun ada pula saat-saat di mana kesedihan merajai hati dan pikiran. Jurnal artikel ini lahir dari kumpulan rasa sang penulis dan juga kalian yang merasakan dimana suatu rasa sesuai dengan kata-kata “Sebuah kisah tentang jiwa yang berisik, tapi hati yang memilih diam. Tentang kepala yang penuh percakapan tanpa suara, tapi langkah tetap maju meski tanpa arah.” Dalam perjalanan ini, kita belajar bahwa kesedihan itu bukanlah akhir, melainkan sebuah fase yang mengajarkan kita untuk tetap bertahan, meski dalam kepingan yang berserakan. Semoga tulisan ini menjadi teman bagi mereka yang tengah berjuang dalam sunyi, sebagai pengingat bahwa meskipun rapuh, kita masih bisa berdiri walaupun harus sendirian. Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua yang ada di hidup penulis yang telah memberikan banyak pelajaran dan pengalaman dalam hidup penulis.

ABSTRAK

Dalam berbagai fase kehidupan, manusia mengalami jatuh bangun yang dapat membentuk kepribadian dan cara pandangnya terhadap dunia. Melalui pendekatan fenomenologis dan psikologi eksistensial, penelitian artikel ini menelusuri keterkaitan antara pikiran yang terlalu ramai dan juga rasa yang sudah mati. Kehilangan rasa bukan sekadar bentuk dari kelelahan mental, tetapi mekanisme pertahanan yang lahir dari luka, trauma, dan ekspektasi tinggi yang terus ada dalam pikiran. Dalam kondisi ini, individu tampak baik-baik saja, tetapi di dalam dirinya, ada kehampaan yang perlahan menggerogoti. Mereka berbicara tanpa benar-benar terhubung dan tersenyum tanpa benar-benar merasakan apa pun. Hidup dalam ketidakseimbangan emosi sering kali membawa manusia pada dua ekstrem: pikiran yang terlalu ramai atau hati yang sudah kehilangan rasa.
Kesedihan adalah fenomena psikologis yang kompleks, sering kali melibatkan perasaan kehilangan, kekecewaan, dan kehampaan. Ini adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman manusia, seringkali menciptakan ruang bagi refleksi yang mendalam dan juga perjalanan emosional yang kompleks. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mati rasa bukan sekadar kehilangan emosi, tetapi juga kehilangan keterikatan dengan diri sendiri. Jurnal artikel ini diharapkan dapat menjadi jendela bagi mereka yang merasa terasing dalam pikirannya sendiri, sekaligus membuka ruang bagi pemahaman yang lebih dalam tentang luka yang tak terlihat, namun tetap ada.

1. Pendahuluan

Hidup tidak akan selalu memberikan kebahagiaan, karena seseorang akan menghadapi berbagai tekanan yang menyesakkan jiwa. Kesedihan dapat muncul dari rasa kehilangan, kekecewaan, kegagalan, bahkan perasaan kosong tanpa sebab yang jelas. Fenomena ini dapat menimbulkan pertanyaan: bagaimana manusia bertahan di tengah rasa sakit yang mendalam? apakah bisa aku melewati semua ini sendirian? kenapa kisah kehidupanku tidak bahagia seperti orang lain? dan juga berbagai pertanyaan lainnya. Setiap individu pasti mengalami fase di mana dunia terasa begitu sangat gelap, pikiran terus bergemuruh, dan hati terasa hampa. Pada era sekarang, tekanan sosial media, ekspektasi diri sendiri, dan realitas kehidupan sering kali memperburuk kondisi emosional seseorang. Fenomena ini semakin terlihat pada generasi muda sekarang yang dalam aspek “love story” dihantui dengan standar kebahagiaan sosial media (TikTok) dan ekspektasi yang tak realistis. Artikel ini mencoba mengurai mengapa manusia, terutama anak muda, sering terjebak dalam overthinking dan kelelahan emosional, dan juga bagaimana mereka dapat terus bertahan di tengah badai kehidupan.

1.1 Latar Belakang

Kesedihan sering dianggap sebagai sebuah perasaan negatif yang harus dihindari, padahal itu adalah bagian dari perjalanan manusia. Generasi muda saat ini menghadapi tekanan mental yang lebih besar akibat ekspektasi dan eksposur berlebihan terhadap kehidupan orang lain melalui media sosial. Kehidupan seseorang penuh dengan tantangan yang tak jarang bisa memicu perasaan sedih dan galau, yang ditimbulkan akibat kehilangan orang yang dicintai, kegagalan dalam mencapai impian, problem dalam keluarga, stuck pada orang yang tidak dimiliki, ataupun juga tekanan sosial yang berat.
Setiap manusia adalah penjelajah dalam perjalanan hidupnya sendiri. Di antara harapan dan kenyataan, di antara tawa dan air mata, ada gelombang perasaan yang tak selalu dapat dikendalikan. Kadang, pikiran terasa terlalu ramai oleh kecemasan, ketakutan, dan suara-suara yang terus menggema tanpa henti. Di lain waktu, justru ada kehampaan yang melingkupi, seakan seluruh makna telah pudar, meninggalkan ruang kosong yang tak terisi. Dua ekstrem ini, meskipun bertolak belakang, tetapi dapat sama-sama menjerat seseorang dalam kebingungan dan kehilangan arah. Dalam banyak kasus, kesedihan dan kegalauan dapat mengarah pada refleksi mendalam tentang makna kehidupan dan membentuk kepribadian seseorang.

1.2 Rumusan Masalah

  1. Apa faktor utama yang menyebabkan seseorang merasa "hancur" secara emosional? 
  2. Bagaimana overthinking dan kelelahan emosional mempengaruhi kesejahteraan mental seseorang?
  3. Mengapa hati selalu berani berharap pada seseorang yang tak pernah menyediakan ruang untuk singgah?
  4. Bagaimana individu dapat bertahan dan menemukan makna dalam kesedihan?
  5. Bagaimana luka dari rasa yang tak pernah terwujud bisa menghalangi hati untuk kembali merasakan?
  6. Bagaimana mungkin kita merelakan sesuatu yang bahkan belum sempat nyata?
  7. Apa yang membuat pikiran terasa terlalu ramai, tetapi hati justru terasa hampa dalam dinamika kehidupan remaja modern?

1.3 Tujuan Penelitian

  1. Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kehancuran emosional dan mental.
  2. Menganalisis hubungan antara overthinking, kelelahan emosional, dan depresi ringan.
  3. Mekanisme studi psikologis tentang harapan dan keterikatan emosional pada ruang yang tertutup.
  4. Menyajikan pendekatan multidisiplin terhadap pemahaman kesedihan.
  5. Mengeksplorasi di mana hati dan perasaan merasa tidak bisa lagi untuk kembali merasakan setelah seuluruh rasanya sudah habis pada kisah yang belum dimulai.
  6. Menganalisis bagaimana merelakan sesuatu yang tidak pernah nyata.
  7. Menjelaskan fenomena "pikiran yang terlalu ramai" dan "hati yang kehilangan rasa" dalam konteks psikologi modern dan budaya digital.

2. Tinjauan Literatur

Jika dulu kesedihan digambarkan dengan tangis yang tak kunjung reda, sekaranag pada era anak muda modern, kesedihan hadir dalam bentuk yang lebih senyap bukan lagi tentang air mata, tetapi tentang kebisingan yang tak pernah diam di kepala dan hati yang justru semakin tenang karena telah kehilangan daya untuk merasa. Seperti lautan yang dulu bergelombang ganas, tetapi kini hanya diam karena semua badai telah berlalu dan bukan karena lautnya tenang, tetapi karena ia sudah kehilangan daya untuk bergejolak.

2.1 Metode Penelitian : Hati Perasaan yang Mati, Jiwa yang Tetap Berjalan

Penelitian digunakan dengan cara pendekatan kualitatif deskriptif untuk menelusuri suatu fenomena mati rasa emosional, yaitu sebuah kondisi di mana seseorang tetap menjalani hidup seperti biasa, tetapi tidak lagi bisa merasakan getaran yang dulu pernah membuatnya utuh. Luka yang tak terlihat sering kali lebih berbahaya bukan karena menyakitkan, tetapi karena perlahan menghapus kemampuan kita untuk merasakannya lagi.
Studi pustaka dari literatur psikologi, filsafat, dan juga fenomena sosial tentang emotional numbness, analisis ekspresi kesedihan seseorang sebagai bentuk refleksi emosional yang ada pada diri. Seperti yang dikatakan dalam sebuah teori Creswell (2014), pendekatan kualitatif memungkinkan kita untuk mengenali suara-suara yang tak terdengar dalam data yang sering kali diabaikan. Maka dari itu, penelitian ini berupaya menyentuh realitas yang tak kasat mata tentang perasaan yang tidak lagi menimbulkan gejolak, tetapi juga tidak sepenuhnya hilang.

2.2 Analisis dan Refleksi : Sunyi yang Dipeluk, Sepi yang Tak Lagi Dihindari

Dalam kehidupan, ada perasaan yang tidak benar-benar hilang, hanya melebur menjadi bagian dari diri yang diam-diam kita terima. Individu sering kali lebih memilih menampilkan keindahan di dalam sebuah kehilangan daripada benar-benar menyembuhkan dirinya sendiri. Kesedihan diungkap melalui lirik lagu yang didengar berulang, kutipan yang terasa begitu personal, atau bahkan tawa yang lebih banyak dari biasanya karena sering kali, mereka yang terlihat baik-baik saja adalah mereka yang paling pandai menyembunyikan luka.
Melalui analisis psikologi emosional, eksistensialisme, dan refleksi sosial, ditemukan bahwa rasa sakit yang tidak terselesaikan tidak selalu berakhir dengan air mata, tetapi bisa berubah menjadi rasa kehampaan yang menetap. Kehidupan tetap berjalan, langkah tetap melangkah, tetapi di dalamnya ada hati yang tidak lagi pulang ke rumahnya sendiri. Pada akhirnya, “Bukan perasaan yang hilang, tetapi keberanian untuk merasakan yang perlahan memudar. Dan hati ini tidak benar-benar berhenti untuk merasakan, Tetapi hanya seperti merasa kehilangan arah untuk perasaan"

2.3 Paradoks Bertahan : Studi tentang Individu yang Bertahan Tanpa Merasa

Paradoks bertahan adalah kondisi di mana seseorang terus menjalani hidup dengan keadaan perasaannya yang tidak lagi merasa, dan mereka tidak melihat alasan untuk berhenti. Mereka tidak menangis lagi, tetapi juga tidak tersenyum lagi dengan tulus. Studi menunjukkan beberapa karakteristik yang sering dimiliki oleh mereka yang hidup dalam paradoks ini, seperti :

  1. Hidup dalam mode autopilot: Bangun, bekerja, mengejar karir pendidikan, tertawa sekadarnya, berbicara secukupnya, tidur, mengulang. Hari-hari berjalan tanpa warna, seolah hidup hanya sekadar rutinitas yang harus diselesaikan.
  2.  Berjalan dengan beban: Orang lain melihat mereka baik-baik saja, tetapi di dalamnya ada kehampaan yang tidak bisa dijelaskan. Mereka tetap melangkah dan berjalan dengan riuhnya isi dalam kepala, tapi ketenangan yang justru ada dalam perasaan hati mereka dengan pemikirannya yang sudah terlalu banyak menempati otak pikiran.
  3. Memilih diam saja: Bukan karena nyaman dan juga kemauan, tapi karena bicara sudah terasa tidak ada gunanya. Mereka tidak lagi berusaha untuk menjelaskan perasaannya, karena mereka juga tidak yakin masih memiliki perasaan yang bisa dijelaskan.

"Beberapa orang tidak lagi berharap menemukan kebahagiaan. Mereka hanya berharap hari ini tidak lebih menyakitkan dari kemarin."

3. Pembahasan

Banyak individu yang berada dalam persimpangan ini, terjebak di antara pikiran yang terlalu ramai dan hati yang telah kehilangan untuk merasakan. Mereka masih menjalani hari-hari mereka, menyelesaikan kewajiban, tersenyum di depan orang lain, tetapi di dalamnya ada ruang kosong yang semakin lama semakin sulit diisi. Pada era sekarang yang serba cepat, tekanan sosial, ekspektasi yang tinggi, serta adanya luka yang tidak sempat sembuh, semuanya bercampur menjadi satu realitas yang sulit dicerna.

"Terkadang, yang paling berisik adalah pikiran kita sendiri. Sedangkan hati sudah lama memilih diam, karena terlalu lelah untuk berharap." -Tere Liye (Penulis Indonesia)

3.1 Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kehancuran emosional dan mental.

  1. Terlalu banyak merasakan, sedikit didengar: Pada zaman dimana semua orang sibuk menampilkan kebahagiaan di media sosial, rasa sakit sering kali dianggap berlebihan, dan juga kesedihan dianggap sesuatu yang harus segera disembunyikan dan jangan ditunjukkan. Akibatnya, banyak orang yang menekan perasaan mereka sendiri, membiarkan luka mengendap, hingga akhirnya tanpa sadar menjadi bom waktu yang meledak di dalam diri. 
  2. Harapan yang tidak pernah ditepati: Seseorang hancur bukan hanya karena kehilangan, tetapi juga karena terlalu berharap pada sesuatu yang tidak pernah menjadi nyata. Entah itu karena menunggu seseorang yang tidak pernah menyediakan ruang, berusaha memenuhi standar yang tidak mungkin dicapai, atau menggantungkan kebahagiaan pada hal yang selalu berada di luar genggaman. 
  3. Luka yang tidak pernah sembuh, tapi dipaksa lanjut: "Beberapa orang tidak benar-benar pulih, mereka hanya terbiasa dengan rasa sakitnya." Ada luka yang tidak bisa sembuh hanya karena waktu. Ada kehilangan yang tidak akan kembali baik-baik saja hanya karena sudah bertahun-tahun berlalu, tetapi dunia tidak memberi ruang untuk berhenti. 
  4. Tidak ada ruang untuk kegagalan: Dalam konteks keluarga, terdapat kalimat "Di dalam rumah ini, kamu harus kuat. Tidak boleh menangis, tidak boleh terlihat lemah." Banyak keluarga yang tidak bisa memberi ruang bagi anak-anaknya untuk gagal dan merasakan lelah. Kesedihan dianggap kelemahan, kecemasan dianggap berlebihan, dan air mata dianggap sesuatu yang tidak perlu. Akibatnya, banyak dari mereka tumbuh dengan beban yang terlalu berat, tidak pernah benar-benar belajar bagaimana menghadapi luka, hanya bagaimana menyembunyikannya.
  5. Dibandingkan, tidak pernah dipahami: "Kenapa kamu tidak bisa seperti dia?" Salah satu luka terbesar dalam keluarga adalah ketika seseorang tidak diterima sebagai dirinya sendiri. dia terus dibandingkan dengan saudara dan anak-anak lain yang versi sempurna menurut orang tua. Ini bukan hanya soal harga diri yang hancur, tetapi juga tentang kehilangan identitas karena bagaimana seseorang bisa mencintai dirinya sendiri jika sejak kecil ia selalu merasa kurang?
  6. Luka yang tumbuh bersama waktu: Trauma yang berasal dari keluarga tidak hanya meninggalkan bekas di masa lalu, tetapi juga membentuk cara seseorang untuk melihat dunia, mencintai, dan memahami dirinya sendiri. Luka yang ditanamkan sejak kecil sering kali tumbuh bersama waktu, menjalar ke setiap aspek kehidupan, hingga tanpa sadar menjadi bagian dari identitas seseorang. 

3.2 Menganalisis hubungan antara overthinking, kelelahan emosional, dan depresi ringan.

Overthinking itu bagaikan penjara tanpa jeruji di mana seseorang terjebak dalam labirin pikirannya sendiri. Dia membayangkan kemungkinan yang tak pernah terjadi, mengulang percakapan yang seharusnya sudah selesai, dan menimbang segala hal yang bahkan tidak berada dalam kendalinya. Lalu, perlahan kelelahan emosional menyusup. Tidak ada lagi ruang untuk merasa tenang, tidak ada lagi energi untuk benar-benar bahagia.
Seiring waktu, kesejahteraan mental mulai runtuh. Tidur sudah tidak lagi nyenyak, pikiran terasa berat, dan setiap hari terasa seperti pertempuran yang tak ada akhirnya. Hidup terus berjalan, tetapi seseorang tidak benar-benar merasa hidup. Ketika pikiran terlalu bising dan hati tak lagi punya ruang untuk tenang, kesejahteraan mental perlahan memudar. Bukan karena ingin menyerah, tapi karena tak lagi tahu bagaimana bertahan.

"Terkadang, musuh terbesarmu bukan dunia, tapi pikiranmu sendiri."

3.3 Hati yang mengetuk di pintu yang tak pernah terbuka

Hati itu bodoh, terkadang ia tetap memilih menetap, bahkan di tempat yang tidak pernah menyediakan ruang. Ia menggenggam kemungkinan kecil, membaca makna dalam keheningan, dan terus percaya pada sesuatu yang tak pernah nyata. Hati selalu berani berharap, meski tahu sejak awal tak ada ruang untuknya. Tapi apa daya? kadang, rasa tidak butuh alasan untuk bertahan. Bahkan ketika logika sudah memohon untuk pergi, hati tetap menunggu, meski tahu ia hanya berbicara sendiri di depan pintu yang tak pernah dibuka.
Lalu, yang tersisa hanya sunyi. Sunyi yang kita ciptakan sendiri, dari harapan yang seharusnya tidak pernah ada. Salahnya bukan pada dia yang tak memberi ruang, tapi pada kita yang tetap mengetuk meski tahu pintunya selalu tertutup. Waktu berlalu, realita perlahan menusuk, kita mulai memahami bahwa tidak semua perasaan bisa diperjuangkan, dan juga tidak semua orang dapat satu pemahaman. Pada akhirnya, semua memang berjalan sesuai takdirnya, yang di mana kita ternyata bukan merupakan takdirnya. Tetapi, perasaan yang ada pada diri menjadi campur aduk yang di mana kita tidak bisa membenci karena memang masih ada ruang dalam perasaan kita sendiri.

"Cintaku sederhana, hanya ingin melihatmu bahagia meski bukan bersamaku." -Raditya Dika

3.4 Bertahan di tengah luka: menemukan makna dalam kesedihan

Kesedihan itu sering kali datang dan hadir sebagai tamu tak diundang, menetap lebih lama dari yang diharapkan. Kita tidak selalu bisa untuk melawannya, tetapi kita dapat mencoba belajar hidup berdampingan dengannya. Dalam dunia yang terus menuntut kita untuk "baik-baik saja" kita lupa bahwa kesedihan juga bagian dari kehidupan yang sah untuk dirasakan. Tidak semua duka harus segera diredam, karena justru dalam luka, kita menemukan sisi paling jujur dari diri sendiri. Menerima kesedihan bukan kelemahan, tetapi bentuk sebuah keberanian karena tidak semua orang mampu menghadapinya tanpa lari.
Setiap orang memiliki caranya sendiri untuk tetap terus bertahan. Ada yang menuangkan luka dalam sebuah kata, ada yang membangun kembali dirinya dalam diam tanpa berisik, dan ada yang menjadikan kesedihannya sebagai alasan dirinya untuk bangkit kembali. Dan pada akhirnya, bukan tentang bagaimana kita jatuh, tetapi bagaimana kita untuk bisa bangun kembali meskipun terasa masih dalam keadaan yang sulit.

"Some people survive and talk about it. Some people survived and just stood still. And some people survive and continue to create." -Nayyirah Waheed (Penulis dan Penyair Amerika)

3.5 Luka yang tak pernah nyata : tidak bisa lagi untuk merasakan

Ada luka yang sembuh dengan waktu, tetapi ada pula yang menetap diam, menjadi bayangan yang selalu mengikuti. Bukan karena tidak ingin untuk merasakan kembali, tetapi karena perasaan dari hati sudah terlalu lelah, takut dan tidak berani sehingga akhirnya perasaan tidak bisa lagi untuk merasakannya kembali. Tidak semua kehilangan bisa datang dari sesuatu yang pernah kita genggam, ada luka tidak terlihat yang terbentuk dari harapan yang tak pernah menjadi kenyataan. Kisah yang tak pernah terwujud itu seperti hujan yang hanya terasa dari rintiknya di udara, tapi tak pernah menyentuh tanah. Cerita yang sama sekali belum ditulis mengajarkan bahwa tidak semua perasaan dapat menemukan rumahnya. Kadang, ia hanya berjalan sendiri, menunggu sesuatu yang tak pernah datang.
Dan begitulah, luka atau coretan dari sebuah lukisan yang bahkan belum dilukis. Bukan hanya sekedar memory yang menyakitkan, tetapi juga merupakan sebuah tembok tinggi yang menghalangi perasaan untuk mencoba kembali merasakan. Sebab, bagaimana bisa untuk merasakan lagi, jika yang terakhir saja tidak pernah benar-benar terjadi, tetapi sudah lebih dulu menghabiskan segalanya?

"Mereka berkata waktu menyembuhkan segalanya, tetapi bagaimana jika luka ini bukan tentang waktu, melainkan tentang sesuatu yang tak pernah selesai?"

3.6 Menghapus sebuah coretan yang belum pernah ditulis dan dilukis

Bagaimana mungkin kita merelakan sesuatu yang bahkan belum sempat nyata? menghapus coretan tinta yang tak pernah ditulis dan melepas genggaman yang tak terwujud. Kita jatuh bukan hanya pada sesuatu, tetapi pada semua kemungkinan yang terkait. Pada coretan yang tak pernah ditulis dan pada lukisan indah yang tak pernah dilukis. Kita menggenggam erat sesuatu yang sebenarnya kosong, berharap pada keajaiban yang tak kunjung menjadi kenyataan. Lalu tiba-tiba, semuanya menguap begitu saja, meninggalkan jejak yang hanya bisa kita pahami sendiri.
Kita terus bertanya pada semesta, bagaimana caranya melepaskan sesuatu yang tak pernah nyata? Bagaimana caranya menghapus coretan yang tak pernah ditulis? Tapi tak ada jawaban. Yang ada hanya sunyi, dan kita dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua yang kita semogakan akan berubah menjadi takdir. Namun meski begitu, kita masih berjalan. Patah, tapi tetap berdiri. Rapuh, tapi tetap melangkah ke depan. "Broken but still standing." Karena pada akhirnya, kita belajar bahwa tidak semua yang kita inginkan harus kita genggam, dan tidak semua lukisan indah yang kita bayangkan dapat menjadi sebuah lukisan sempurna.

"Kadang kita harus melepaskan dan menghapus sesuatu yang tak pernah nyata, untuk memberi ruang bagi diri kita sendiri." -Kahlil Gibran (Penulis dan Penyair Lebanon)

3.7 Kesunyian dan ketenangan yang terbungkus dalam keriuhan

Kita sering kali terjebak dalam kebisingan dunia luar yang tak pernah berhenti. Penuh dengan suara-suara yang memaksakan standar hidup, ekspektasi, dan tekanan sosial. Dan meski kita di tengah keramaian, di dalam diri kita tetap ada ruang kosong yang menunggu untuk diisi. Namun, hal itu tak pernah terjadi. Media sosial, harapan yang semakin tinggi, dan ekspektasi yang tak terhitung jumlahnya membuat kita berlari mengejar sesuatu yang bahkan belum kita pahami benar-benar. 
Pikiran yang terus berpacu dengan harapan, impian, dan juga kecemasan, sementara rasanya tetap hampa, seperti ruang kosong yang tak bisa diisi meski segala usaha telah dilakukan. Dinamika kehidupan memaksa kita untuk bergerak cepat, mengejar mimpi yang tidak selalu jelas, tapi di dalam diri kita, ada perasaan hampa yang tak kunjung hilang. Pikiran kita terus dipenuhi dengan deretan hal-hal yang harus dilakukan seperti prestasi yang harus diraih, pertemanan yang harus dipelihara, dan citra diri yang harus dijaga. Perasaan yang begitu penuh di pikiran kita, namun kosong di hati itulah yang terjadi ketika kita terperangkap dalam kehidupan yang terus berjalan tanpa pernah berhenti untuk kita sendiri. Kita mungkin merasa patah, namun kita terus berjalan. 

"Kadang kita merasa kesunyian di dalam keramaian, tapi itu adalah ketenangan hati yang membuat kita merasa utuh meskipun dunia kita terasa kosong." -Brene Brown (Penulis dan Aktivis Amerika)

4. Kesimpulan

Dalam sunyi yang sangat mendalam, kita sering kali menemukan diri kita terjebak dalam sebuah kontradiksi yang begitu memilukan, pikiran yang terperangkap dalam keramaian yang tak pernah berakhir, sementara hati kita seperti terendam dalam kehampaan yang menakutkan. Semua yang kita pikirkan begitu penuh dan sarat dengan kekhawatiran, tetapi perasaan kita tak bisa merasakannya lagi karena sudah mati rasa.
"Broken but still standing" bukan sekadar kata-kata, tetapi cerminan dari kehidupan yang begitu rapuh. Kita berdiri di tengah dunia yang terus berputar, meskipun kaki terasa berat dan hati telah kehilangan kekuatannya. Kita berjalan tanpa tahu arahnya nanti, terhanyut dalam kebingungan, tanpa bisa merasakan apapun. Apa yang dulu membakar semangat kita, kini hanya menjadi kenangan yang jauh dan kabur. Dalam kekosongan itu, ada kesakitan yang teramat sangat, namun juga ada kekuatan yang tak terduga untuk terus melangkah. Mungkin kita tidak bisa mengubah kenyataan bahwa perasaan kita telah hilang, namun kita masih punya tubuh yang mampu berjalan, meskipun tanpa rasa. Kita terus berdiri, meski dalam hati, kita telah lama runtuh. Itulah ironi hidup yang terkadang kita terima tanpa bisa memilih. Kita mungkin tidak tahu lagi untuk apa kita bertahan, tetapi dalam setiap langkah kita, ada seberkas harapan yang meskipun samar, tetapi tetap masih ada.
Di balik jurnal ini, ada begitu banyak yang memberikan pelajaran dalam hidup saya. Untuk itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka. Ucapan terima kasih saya sampaikan di bagian "ucapan terima kasih: tangan yang tak terlihat" setelah bagian saran.

5. Saran

Untuk mereka yang masih berdiri meski hati sudah mati rasa, apakah bertahan adalah satu-satunya pilihan yang tersisa, atau hanya kebiasaan yang tidak lagi kita pertanyakan? berapa lama lagi kita harus berpura-pura baik-baik saja? Namun, apakah hidup hanya tentang terus bergerak, tanpa kita pernah benar-benar merasakan? Untuk mereka yang merasa hancur, namun masih berdiri, mungkin inilah saatnya untuk berhenti sejenak dan bertanya pada diri kita sendiri: apakah kita benar-benar hidup, atau hanya sekadar bertahan? Dunia tidak akan berhenti berputar, dan manusia akan selalu berpura-pura baik-baik saja, tapi ada hal yang lebih penting dari sekadar bertahan. yaitu menemukan alasan untuk benar-benar hidup kembali.
Bagi mereka yang terus melangkah tanpa arah, mungkin langkah kita tidak harus selalu maju. Mungkin kita perlu diam, meresapi kehampaan, memahami luka-luka yang tak terlihat, dan perlahan menerima bahwa kita berhak untuk merasa, meski rasa itu menyakitkan. Karena tidak merasakan apa pun bukanlah kebebasan, tetapi penjara yang pelan-pelan membunuh kita dari dalam. Dan untuk kita yang telah kehilangan banyak hal, mungkin tidak apa-apa jika kita belum siap untuk sembuh dan berusaha untuk merasakan kembali. Suatu hari, di waktu yang tidak kita duga, sesuatu akan menyentuh hati kita yang telah lama mati rasa. Mungkin sekecil debu dalam cahaya sore, mungkin hanya sebaris lagu yang pernah kita lupakan, atau mungkin hanya sepasang mata yang tiba-tiba mengingatkan kita bahwa kita masih ada. Jangan biarkan diri kita menjadi mayat yang masih bergerak. Karena di balik semua kehampaan ini, mungkin saja ada sesuatu yang masih menunggu untuk ditemukan, sesuatu yang bisa membuat kita merasa hidup kembali, seseorang yang akan menjadi sebuah alasan bagi kita untuk tetap mengejar mimpi, dan juga mungkin keluarga yang akan kembali menjadi semangat kita untuk tetap terus melangkah dan hidup dengan baik.

"Kamu berhak untuk merasa lelah. Kamu berhak untuk merasa hampa. Tapi jangan pernah sekalipun percaya bahwa kamu harus menghilang. Karena bahkan dalam sebuah reruntuhan, sebuah bunga masih akan bisa tumbuh.” -Boy Candra (Penulis Indonesia)

Ucapan Terima Kasih
“Tangan yang Tak Terlihat: A Silent Thank You, For Providing Lessons and Experiences”

"Jika kamu sampai pada bagian yang ini, terima kasih. Sama seperti jurnal ini berbicara tentang luka yang tetap bertahan, bagian ini adalah ungkapan untuk mereka yang telah membuat saya tetap berdiri."
Untuk ibu,
Sebuah cahaya yang tak pernah padam, adalah rumah yang selalu penulis cari meskipun penulis tak pernah benar-benar pergi. Dalam diam, engkau selalu saja menyisipkan do’a untuk penulis memastikan langkah tetap tegak meski dunia sering kali terasa berat. You are the silent force behind every fall and rise of me. Even when I feel like I'm lost in my own thoughts, your soft but firm voice is an anchor that prevents me from drifting too far. Terima kasih, karena engkau adalah alasan bagi penulis tetap berjalan ke depan mengejar semua Impian.
Kepada ayah,
Sosokmu yang tegas dan keras menjadikan penulis pribadi yang keras juga dalam melewati semuanya. Peranmu bagi penulis mungkin tak telihat selalu tampak, bahkan juga menjadikan luka bagi penulis di masa lalu dan masa sekarang, tetapi penulis tetap ucapkan terima kasih yang tak terhenti karena penulis bisa menjadi pribadi yang kuat, tegas, tidak lemah, dan juga sangat ambisius. Bagaimanapun engkau tetap seorang kesatria bagi penulis untuk terus melangkah tegas dengan segala pelajaran dan pengalaman darimu.
For Someone,
Keberadaanmu menjadi alasan untuk penulis bangun setiap pagi dengan sedikit lebih banyak cahaya di hati. Mencoba penulis kembali melukis lukisan terhapus yang belum dilukis. Terima kasih karena tanpa sadar telah menjadi semesta kecil yang diam-diam penulis kagumi, menjadi alasan bagi penulis untuk kembali semangat melangkah ke depan, dan juga cahaya kecil di wajahmu sebagai alasan penulis untuk berusaha mencoba kembali agar perasaan ini bisa merasakan lagi. You never know how much I thought about trying to start it, and in the end I didn't really start it because I was still in great fear. So, thank you untuk menjadi alasan kecil yang membuat penulis sedikit kembali bisa merasakan semuanya, menjadi cahaya terang dalam gemerlap bagi penulis untuk kembali membuka senter agar bisa menemukan jalan keluar.
For Someone too,
Yang tidak bisa penulis sebutkan namanya, a beautiful woman with a beautiful smile on her lips, a gentle and warm way of speaking, a cute and simple person. Terima kasih untuk yang tak pernah nyata, menjadi pelajaran bagi hidup penulis saat proses melukis sebuah lukisan. Penulis sempat menyimpan harapan kecil yang bahkan penulis sendiri ragu untuk mempercayainya dan juga disaat penulis tidak ingin untuk merasakan. You're the one who used to be the reason my world feels more alive, tapi kamu jugalah yang mengajarkan penulis bagaimana rasanya untuk tidak bisa dan tidak mau merasakan lagi. Tidak ada amarah dan tidak ada benci sedikitpun. Some people teach us how to love, while others teach us how to feel nothing at all. and you, unknowingly, telah memberikan penulis keduanya. Jadi, terima kasih karena penulis belajar bahwa tidak semua yang diharapkan untuk jadi lukisan indah dapat menjadi lukisan yang benar-benar sempurna. Terakhir, penulis selalu berkata “God, please protect that beautiful and wonderful woman, jauhkan dia dari semua hal yang buruk, because I want to see her live well happily. May you always take care of her to continue to make her a great woman, I am one of those happy people when I see you live happily.”
Terima kasih kepada Rusydan Mughni,
Teman sekaligus narasumber juga yang mengatakan “Saya pernah ada di fase ini bahkan sampai sudah tidak peduli lagi dengan apapun. Karena, rasa kehampaan yang membuat saya tidak mau lagi untuk mengeluarkan energy pada hal yang membuat hati semakin sakit, dan tidak peduli jika tidak orang lain disamping saya kecuali keluarga sendiri. Tapi pada saat hari pertama bekerja saya bertemu seseorang berinisial “S” yang menjadi cahaya dalam gelap, tetapi ada seorang yang juga ingin menulis cerita indah dengannya. Dan, harus kembali merelakan sesuatu yang tak nyata dengan rasa sadar diri, ketakutan, trauma, dan tidak percaya diri untuk bisa memulai semuanya. "Setidaknya salah satu dari kita bahagia" ungkapan itu kembali harus terucap karena sudah terbiasa dengan rasa sakit. Berharap dia untuk bahagia menjadi tokoh utama dalam film tetapi bersama aktor yang lain. Jika akhirnya memang mencoba terus berjuang, itu tidak akan sempurna untuk menjadi sebuah film yang indah karena ada keterpaksaan di dalamnya. Thank you very much for this short time, thank you for having time to accept me well, even though in the end we are not destined yet.” Penulis belajar dari ungkapan tersebut adalah sebuah harapan yang tidak bisa selalu dimiliki dan menyadari bahwa beberapa rasa hanya bisa tinggal dalam kesunyian.
Terima kasih kepada Maulana Al-Kahvi,
Teman sekaligus narasumber yang mengatakan “Bukankah kehidupan itu adalah bahagia dan sedih? bahagia karena bernafas mengalir dan jantung berdetak, sedih karena diliputi semua bayang-bayang pikiran. Dalam keadaan sulit, logika lebih baik daripada hati, don't be selfish by focusing on your feelings but focus on finding a solution. Tetaplah tenang meskipun dunia terasa berat, percayalah bahwa setiap kejadian memiliki hikmahnya. Kesulitan hari ini menjadi bekal untuk kemudahan di hari esok, keep moving forward and don't think about backing down. Lemah bukan berarti kalah, jangan biarkan masalah membuat pikiranmu gelisah, dan renungkanlah semua hal baik dalam hidupmu. Jika bukan sekarang, lantas mau kapan lagi? sadar akan hidup ini yang tidak selalu mudah, tetapi kamu juga punya kekuatan untuk berjalan. Lelah hati dan pikiran adalah tanda kamu sedang berjuang, berhenti saja sejenak untuk menghirup udara agar dapat membuatmu merasa tenang.” Dari ungkapan tersebut, penulis belajar tentang keteguhan hati dalam menghadapi beban hidup dan jangan terlalu keras pada diri sendiri.
Terima kasih kepada Hilal Rahmadan,
Teman sekaligus narasumber juga yang mengatakan “Pada akhirnya orang yang mencintai adalah budak bagi yang dicintainya. Mungkin dengan waktu 3 tahun saja terlalu dini untuk menyimpulkan definisi yang pasti, apakah semua cinta akan berakhir sama? atau aku yang kurang beruntung seperti orang lain pada umumnya? aku ingat bahwa aku itu adalah manusia yang dibekali regenerasi. Aku percaya luka itu akan sembuh dengan sendirinya, sebagai pelajaran jadikan luka tersebut untuk bahan bakar menjadi lebih baik. People come and go itu nyata, tapi bukan untuk dijadikan sebuah alasan untuk menyerah.” Penulis belajar tentang kehidupan tetap berjalan dengan orang yang datang dan pergi, kekecewaan bagian dari proses hidup untuk menjadikan diri lebih baik.
Terima kasih kepada Sahal Aufa,
Teman yang menjadi narasumber untuk penulis menyusun karya ini, yang mengatakan “Aku masih belum punya kapasitas untuk menarik tanganmu menuju tempat yang lebih baik, jika seandainya kamu membutuhkan cahaya dalam tempat yang gelap, tenang saja karena aku ada disitu menjadi cahaya dalam tempat yang gemerlap.” Penulis belajar tentang sebuah cinta sejati bukan tentang memiliki, tapi tentang tetap hadir dalam diam dan ketulusan yang tinggi. Ini bentuk cinta yang tidak menuntut, hanya memberi meskipun akhirnya berada di kejauhan.
Terima kasih kepada Elsar Putra,
Teman sekaligus narasumber yang mengatakan “For someone, berinisial “S” semoga bahagia selalu dengan pilihanmu. Keep going, you must still live happily even though the world is not on your side. I'm fine here, merelakanmu tanpa membenci, mendoakan tanpa terlihat. Semoga langkahmu ringan, senyummu tulus, dan hatimu selalu menemukan tempat terbaik untuk berlabuh.” Dari ungkapan ini penulis bisa belajar tentang keikhlasan dalam merelakan, tanpa rasa benci dan tanpa penyesalan.
Terima kasih kepada Hilman Fathur,
Teman yang juga satu perjalanan dengan penulis dalam mengejar ilmu pendidikan sekaligus menjadi narasumber dari karya ini. Yang mengatakan “Terkadang, diam adalah cara yang paling terbaik untuk menyembunyikan luka dan biarkan saja hati berbicara dalam senyap, sebab tidak semua tangisan harus terlihat untuk bisa dirasakan." Penulis belajar dari ungkapan tersebut yaitu bahwa setiap orang memiliki cara sendiri untuk menghadapi luka, dan tidak apa-apa jika memilih untuk merasakan dan menyembuhkan dalam diam, tanpa harus membuktikan rasa sakitnya kepada dunia.
And for myself,
Terima kasih telah bertahan, meski dunia terasa hampa dan kosong, meski hati perasaan sudah mati. Thank you for staying strong, even when life felt too heavy. For every tear that fell in silence, for every wound that nobody saw, and for every step you took even when your legs were tired. Dunia mungkin tidak selalu baik, dan tidak setiap doa dapat dijawab seperti yang kita harapkan, tetapi saya bangga dengan apa yang telah terjadi. So for myself, don't forget to rest, don't forget to keep fighting, and never forget to love yourself, with all your flaws and strengths. Semoga suatu hari, perasaan ini bisa kembali untuk mencoba memulai merasakan semuanya.
Semoga karya ilmiah ini, sekecil apa pun, bisa menjadi ruang bagi mereka yang pernah merasa hilang. Mungkin, bagi banyak orang, karya ini hanyalah sekumpulan kata-kata. Tapi bagi penulis, ini adalah bukti bahwa saat dalam kehampaan, masih ada sesuatu yang bisa diungkapkan. Bahwa ketika hati sudah lama kehilangan rasanya, masih ada cara untuk berbicara. Karena meskipun kita terluka, meskipun kita kosong, kita masih di sini. Dan itu sudah cukup. Semoga kita semua perlahan-lahan menemukan jalan pulang, atau setidaknya, menemukan makna di antara kesunyian yang mendalam ini.
Thanks again to everyone.

Daftar Pustaka

  1. Amri, R. (2020). Psikologi Trauma: Dampak Psikologis dari Kehilangan dan Kekecewaan. Jurnal Psikologi Indonesia, 25(3), 210-225.
  2. Artini, W. (2019). Fenomena Emosional dalam Perkembangan Remaja dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan Mental. Jurnal Psikologi Remaja, 18(1), 45-56.
  3. Deary, I. J., & Batty, G. D. (2021). Emotional Exhaustion and Psychological Well-being in the Modern World. Journal of Social and Clinical Psychology, 40(4), 67-83.
  4. Dewi, A. P., & Setiawan, T. (2020). The Psychological Impact of Emotional Exhaustion in Adolescence. Journal of Mental Health and Wellbeing, 15(3), 45-60.
  5. Fahrudin, M. (2018). Kehampaan dalam Diri: Pemahaman Psikologis Mengenai Pengalaman Kehilangan yang Membekas. Psikologi dan Kehidupan, 22(2), 122-137.
  6. Hidayati, S. (2021). Penyembuhan Luka Emosional: Mengelola Rasa Kehilangan dan Kepedihan dalam Kehidupan Sehari-hari. Jurnal Terapi Psikologis, 14(2), 58-72.
  7. Kurniawati, D. (2021). Menyembuhkan Hati yang Terluka: Perspektif Psikologi dalam Menghadapi Rasa Kehilangan. Jurnal Konseling dan Psikoterapi, 10(3), 79-91.
  8. Liu, Y., & Chang, J. (2020). The Intersection of Emotional Pain and Psychological Healing. Journal of Cognitive and Affective Psychology, 24(2), 31-46.
  9. Smith, J. (2020). The Power of Resilience: Psychological Recovery After Emotional Disruption. International Journal of Psychology, 51(6), 132-145.
  10. Suryani, A. (2021). Mendalami Luka: Pengaruh Trauma Psikologis terhadap Kehidupan Sehari-hari. Jurnal Psikologi Perkembangan, 19(2), 102-116.
  11. Tjahjani, V. (2018). Mati Rasa dan Menemukan Kembali Diri: Mengelola Kehampaan dalam Perjalanan Hidup. Psikologi dan Kehidupan Sehat, 25(1), 38-50.

Biografi Penulis

Saya, adalah mahasiswa di Stie/Universitas Hidayatullah dengan prodi S1 manajemen. Sebelum memulai kuliah di Universitas/STIE Hidayatullah, saya menempuh pendidikan menengah di Sekolah Menengah Kejuruan daerah kabupaten Bogor. Sebagai seorang mahasiswa yang baru memulai perjalanan akademis, karya ilmiah ini merupakan tulisan pertama saya, yang saya harap dapat memberikan kontribusi kecil dalam pemahaman tentang kondisi psikologis generasi muda saat ini. Saya berharap untuk terus membuat karya ilmiah mungkin dengan topik dan tema yang berbeda-beda, dan juga mengembangkan riset yang bermanfaat bagi masyarakat luas, terutama dalam segala dinamika kehidupan sosial ini.
Karya ilmiah ini lahir dari perpaduan antara ketertarikan akademik dan pengalaman pribadi saya dalam menghadapi perasaan hampa, mati rasa, serta tantangan kesehatan mental di era modern. Saya berharap dapat terus mengembangkan diri melalui penelitian dan penulisan ilmiah. Walaupun baru pertama kali menulis karya ilmiah, saya berkomitmen untuk terus belajar dan berkembang dalam penulisan karya ilmiah lainnya seperti ini. Dengan semangat untuk terus tumbuh, sane percaya bahwa setiap pengalaman, baik itu suka maupun duka, dapat menjadi bahan bakar untuk mengasah dirinya lebih baik lagi. Tulisan ini juga dibuat dengan waktu yang sudah cukup lama, sekitar 2 minggu lebih sampai akhirnya bisa penulis publikasikan.



Terima kasih, dan ditunggu untuk karya tulisan cerita, jurnal, artikel, dll. tentang tema/topik yang berfokus di dinamika kehidupan sosial atau tema lainnya yang akan saya coba buat ke depannya.  



Komentar